Leonardy Harmainy Hentikan Eksekusi Grand Mall dan Basko Hotel

Padang AP– Anggota DPD RI asal Sumatera Barat, H. Leonardy Harmainy Datuak Bandaro Basa meminta Pengadilan Negeri Padang menghentikan eksekusi tahap dua terhadap Basko Hotel dan Mall. Eksekusi itu dianggap akan merugikan Sumbar.

“Eksekusi yang rencananya hari Senin 22 Januari terhadap Basko Mall dan Hotel saya minta ditunda dulu,” kata Anggota DPD RI Leonardy Harmainy kepada pers, Minggu (21/1) di Jakarta.

Menurut Leonardy, penundaan eksekusi tahap dua ini bukan bentuk pelanggaran hukum. Objek eksekusi ini berupa hotel dan mall adalah tempat usaha, yang melibatkan orang banyak, mulai dari pedagang, karyawan dan pemasok barang dagangan. Ini hajat hidup orang banyak dan harus mendapatkan perlindungan dari negara, karena itu sangat bijak jika PN Padang menunda dulu eksekusinya.

Leonardy Harmainy yang juga mantan Ketua DPRD Sumatera Barat itu mengatakan, kita tidak boleh main kuat-kuatan menggunakan hukum.

“Saya tidak mengintervensi hukum, tetapi kepentingan orang banyak adalah di atas segalanya. Jadi tunda dulu, mari kita duduk bersama,” kata Leonardy Harmainy.

Menunda eksekusi ini, kata menantu Bupati Anas Malik ini, tidak akan membuat dunia hukum akan kiamat. Biasa saja.

“Kita susah mengundang investasi ke Sumatera Barat. Jangan akibat eksekusi ini merusak iklim investasi, yang rugi daerah Sumatera Barat bahkan Indonesia,” tegas Leonardy.

Leonardy Harmainy, Anggota DPD RI yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Sumbar ini mengutip PP No 69/1998 tentang Prasarana dan Sarana Perkeretaapian yang menyebutkan bahwa tanah yang digunakan PT KAI untuk kepentingan jalur KA hanya enam meter di masing-masing sisi rel kereta api.

Dalam Pasal 13 dari PP No 69/1998 jelas dan tegas yang berbunyi “Batas daerah milik jalan kereta api di jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah sebagaimana diatur Pasal 6, adalah batas paling luar di sisi kiri dan kanan daerah manfaat jalan kereta api, masing masing enam meter,” paparnya.

Jadi, sepanjang yang diamati Leonardy Harmainy, dalam kasus ini yang banyak dirujuk adalah peraturan kereta api dan peta yang berasal dari zaman Belanda. Inilah kekeliruan kita, padahal sudah ada PP 69/1998 dan juga UU Perkeretaapian No 23/2007.

“Sudah ada aturan negara kita, mengapa aturan yang Zaman Belanda juga dirujuk,” ujar Leonardy Harmainy lagi.

Dalam waktu dekat Leonardy Harmainy sebagai Anggota DPD akan mempertanyakan soal eksekusi tempat usaha orang banyak ini kepada Mahkamah Agung dan juga mempertanyakan peraturan Zaman Belanda yang dipakai ini kepada pihak PT KAI. (rilis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *